FESYEN BERBASIS MIKROBA – TREN INDUSTRI TEKSTIL RAMAH LINGKUNGAN
Dunia fesyen telah lama menjadi penopang utama perekonomian Indonesia. Bahkan, sektor ini dikatakan telah menyumbang kontribusi hingga hampir 20% pemasukan dari bidang industri ekonomi kreatif di tanah air. Perkembangan dunia fesyen tentulah sangat berkaitan erat dengan industri tekstil. Terlepas dari dampaknya yang sangat besar terhadap kemajuan bangsa, industri tekstil terkenal memiliki reputasi yang buruk terhadap lingkungan. Bahkan, industri ini dinobatkan sebagai sektor penghasil polusi terbesar kedua di dunia setelah industri minyak dan gas bumi.
Untuk menciptakan pertumbuhan industri tekstil yang berkelanjutan, aspek riset dan pengembangan pun wajib untuk berkiblat pada tren teknologi bersih dan ramah lingkungan, baik dari aspek bahan baku, proses produksi, manajemen limbah dan produk bekas pakai, maupun energi yang digunakan pada keseluruhan sistem. Tentunya, konsep ini sejalan dengan berbagai target dalam Sustainable Development Goals (SDGs).
Salah satu emisi industri tekstil berasal dari proses pembuatan bahan bakunya. Bahan-bahan serat sintetik, seperti nilon, akrilik, dan poliester, merupakan turunan dari produk petrokimia, di antaranya minyak bumi dan gas alam. Aktivitas eksploitasi dua sumber daya fosil tersebut tentunya tidak sustainable dan sangat berkorelasi erat dengan berbagai fenomena kerusakan alam, contohnya pemanasan global dan kerusakan habitat alam.
Untuk menciptakan konsep pola produksi yang bertanggung jawab sesuai dengan target SDG 12, alternatif material yang lebih ramah lingkungan, misalnya poli-asam laktat (PLA) dan poli-hidroksi alkanoat (PHA), dapat digunakan sebagai bahan baku serat tekstil. Material-material polimer ini diketahui bersifat biodegradable, memiliki karakteristik yang menyerupai serat sintetik konvensional, dan dapat dibuat dari pengolahan bahan baku non-fosil, seperti gandum, gula bit, dan bahan-bahan mengandung pati lainnya. Proses pengolahannya dapat dilakukan bantuan mikroba pada proses fermentasi, baik dengan cara mengonversi langsung bahan-bahan baku tersebut menjadi material siap olah maupun secara bertahap melalui sintesis produk-antara berupa monomer penyusun materialnya. Untuk meningkatkan efisiensi dan menerapkan konsep ekonomi sirkular berbasis reduce-reuse-recycle (3R), proses konversi ini dapat juga memanfaatkan bahan-bahan baku berbasis limbah, seperti limbah makanan.
Selain serat sintetik, industri tekstil juga menggunakan bahan serat alami seperti wol dan sutera. Bagi beberapa kalangan, proses produksi serat sutera masih dianggap sebagai bentuk eksploitasi dan kekejaman terhadap hewan. Besarnya konsumsi energi pada tahap pembuatannya juga membuat proses produksi sutera kurang ramah lingkungan dibandingkan bahan serat lain. Namun, saat ini telah ada satu startup asal Jepang bernama Spibers yang mengembangkan material fabrikasi super kuat dan menyerupai benang sutera melalui proses fermentasi7. Dengan menggunakan bahan baku tebu, jagung, atau bahkan limbah kapas dari pakaian bekas, mikroba hasil rekayasa genetik tertentu ini dapat menghasilkan protein struktural yang kemudian dibentuk menyerupai benang sutera. Tidak hanya pakaian, material sejenis juga telah digunakan oleh perusahaan Adidas untuk membuat salah satu produk sepatunya. Bahkan, teknologi material ini juga terus dimodifikasi untuk kebutuhan di bidang lainnya, seperti pada industri otomotif.
Cara lain yang dapat digunakan untuk membuat biotekstil adalah dengan metode “tenun dan tumbuh”. Dengan teknik ini, bakteri khusus hasil isolasi dapat tumbuh dan mengakumulasikan partikel serat tipis nanoselulosa yang bentuknya dapat disesuaikan menggunakan cetakan. Proses ini mirip seperti cetakan 3D dan telah dimanfaatkan oleh startup bernama Modern Synthesis untuk memproduksi sepatu.
Tidak hanya bahan baku tekstil, pencemaran lingkungan oleh industri tekstil juga banyak berasal dari pengunaan bahan pewarna. Selain limbahnya yang sangat berbahaya bagi ekosistem perairan, pewarna sintetik juga merupakan bahan turunan dari produk petrokimia. Saat ini, salah satu startup bernama Vienna Textile Lab telah berhasil mengembangkan beberapa pewarna alami berbasis mikroba. Berbeda dengan pewarna tekstil asal tanaman, zat warna hasil fermentasi bakteri khusus ini dapat diproduksi dalam skala besar secara stabil tanpa terpengaruhi oleh cuaca ataupun kebutuhan suplementasi pestisida. Produk inovasi ini pun telah terbukti dapat digunakan pada bahan serat tekstil alami maupun sintetik.
Kemudian, tren fast fashion atau fesyen cepat juga menuntut tingginya aktifitas produksi pada industri tekstil. Untuk menciptakan konsep pola konsumsi yang bertanggung jawab sesuai dengan target SDG12, produk-produk pakaian yang tidak lagi terpakai oleh konsumen sebenarnya dapat didaur ulang menjadi produk baru. Konsep serupa sebenarnya telah banyak diusung oleh produsen ternama, seperti Uniqlo. Kumpulan pakaian bekas dapat didegradasi kembali menjadi selulosa dengan bantuan enzim, bakteri, atau jamur, dan diproses menjadi kain baru. Dengan terbentuknya siklus bahan produksi dan produk konsumsi yang tertutup, produk fesyen yang dihasilkan pun akan bersifat karbon netral.
Terakhir, tidak dapat dipungkiri bahwa peran industri tekstil terhadap kemajuan ekonomi bangsa sangatlah besar. Agar industri ini dapat terus berkembang secara berkelanjutan, penerapan prinsip ekonomi sirkular pada level produksi dan konsumsi akan efektif dalam menghijaukan dunia fesyen. Supaya target ini dapat cepat terwujud, pemerintah dapat kembali menguatkan regulasi dan menciptakan sistem serifikasi sebagai bentuk promosi konsep “fashion berbasis mikroba” kepada aktor-aktor terkait, seperti investor, peneliti, pegiat startup, komunitas lingkungan, dan lain-lain.